Sejarah pers di indonesia pada masa penjajahan
Pers
(Indonesia) di masa penjajahan (Belanda dan Jepang) pada garis besarnya
dapat dibagi dalam empat kelompok. Pers Belanda, Pers Tionghoa/Melayu,
Pers Indonesia dan Pers Jepang. Semasa penjajahan, masyarakat Belanda
merupakan kaum elitenya, dan bisa difahami pula kala itu pers Belandalah
yang merupakan pers yang terbesar, termaju, baik segi fisik maupun
manajemennya.
Adanya
pers Belanda bahkan sudah ditengarai sejak zaman Gubernur Jenderal
pertama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Jan Pieters Zoon Coen,
yang diberi nama Memorie der Nouvelles. Penerbitannya kala itu
disesuaikan dengan zamannya; tidak dicetak, tetapi ditulis tangan,
sesuatu yang merupakan kelaziman di Eropa dan diterapkan oleh Coen di
sini.
Memorie
der Nouvelles terutama memuat berita-berita dari Nederland, serta dari
kepulauan lain yang ada di Hindia dan merupakan bacaan tetap bagi
sementara pejabat Belanda yang ada di Ambon.
Pada
tahun 1744 Gubernur Jendral van Imhoff membenarkan terbitnya penerbitan
secara teratur, diberi nama Bataviase Nouvelles. Namun belum begitu
lama terbit atas, perintah Penguasa Kumpeni di Nederland yang dikenal
sebagai de Heeren Zeventien (Tuan-tuan 17 orang) yang memegang tampuk
pimpinan Kumpeni, penerbitan itu dihentikan, karena dianggap “membawa
akibat yang merugikan” tanpa menyebutkan apa yang merugikan itu.
Pada
zaman Gubernur Jendral Daendels diterbitkan Balaviasche Koloniale
Courant, tiap Jumat; sehari sebelum dicetak, naskahnya harus
diperiksakan terlebih dahulu kepada sensor. Segala apa yang akan
dicetak, termasuk iklan-iklan harus terlebih dahulu diperlihatkan kepada
(setingkat) sekretaris negara. Untuk melakukan sensor itu, sang
sekretaris negara mendapat imbalan 10% dari uang pemasukan koran.
Sewaktu
Inggris berkuasa di Hindia (Jawa) tahun 1813, oleh penguasa Inggris
Jendral Raffles, Bataviasche Koloniale Courant diganti namanya menjadi
Java Government Gazette, tetap merupakan penerbitan pemerintah. Namun,
setelah ada penyerahan kembali kekuasaan Inggris kepada pihak Belanda,
kembali pula nama penerbitan itu menjadi Bataviasche Koloniale Courant.
Oleh Gubernur Jendral yang berkuasa kemudian, namanya dirubah menjadi De
Javasche Courant (1828) dan konon merupakan “koran’ yang paling panjang
usianya di Hindia (Indonesia), karena baru ditutup setelah Jepang
datang di Jawa (1942). De Javasche Courant merupakan organ resmi
pemerintah (Hindia-Belanda). Baru pada 1851 di Jakarta terbit koran yang
sesungguhnya; yaitu De Java Bode, dan De Locomotief di Semarang;
sedangkan di Surabaya pada 1853 terbit Het Soerabajaasch Handelsblad.
Pada
tahun 1856 ditetapkan adanya Drukpers Reglement, Peraturan Tentang
Cetak Mencetak di Hindia Belanda. Di dalamnya disebutkan antara lain,
bahwa pihak pencetak harus menyerahkan satu eksemplar dari hasil
cetakannya kepada petugas pemerintah yang ditunjuk, untuk mengawasi
soal-soal percetakan. Barangsiapa yang tidak mematuhi
peraturan-peraturan tentang percetakan ini dapat dikenakan hukuman
pencabutan lisensi dan penghapusan uang jaminan.
Sewaktu Het Indisch Vaderland yang terbit di Semarang menurunkan
artikel-artikel yang isinya menentang adanya peraturan Tentang Cetak
Mencetak tadi maka lisensi (Surat Izin Terbit)-nya dicabut;
percetakannya harus ditutup, gedungnya disegel. Pihak penerbit, CGT van
Dorp mengajukan persoalannya kepada Gubernur Jenderal; menuntut
pemerintah di hadapan Mahkamah Tinggi. Akhirnya dicapai kompromi. Segala
sesuatunya akan dikembalikan seperti sediakala, dengan syarat pihak
penerbit harus berjanji tidak akan mencetak segala sesuatu yang menghina
pemerintah. Namun, karena telah tiga minggu tidak terbit, Het Indische
Vederland kehabisan uang. Modalnya tidak dapat membiayai pembangun
kembali koran tersebut.
Dalam tahun 1906 sensor preventif dihapus, diganti dengan sensor
represif, dan kemudian menjadi lebih dikenal dengan persbreidel
ordonantie.
Dalam waktu sepuluh tahun, ordonansi tersebut telah minta korban lima
buah suratkabar Belanda; di antaranya Indie Hou Zee yang diterbitkan
oleh kaum NSB, Nationaal-Socialistische Beweging, golongan Nazi Belanda,
di Semarang. Juga 24 suratkabar Indonesia, yang 13 di antaranya tidak
dapat terbit kembali.
Kaum ondernemers, tuan-tuan penguasa perkebunan kopi, kina, teh, karet
dan lain sebagainya, di Jawa Timur mula-mula menerbitkan De
Soerabajasche Courant, setelah sebelumnya ganti nama dua kali. Kemudian
ada juga De Nieuwsbode yang sering memuat tulisan yang dianggap keras
oleh pihak gubernemen, sehingga akhirnya
pendiri-penerbit-pencetak-redaktur-pemiliknya yang bernama J.J Noise
diusir dari tanah Hindia (1866).
Kaum pekerja yang bekerja di perkebunan gula, mendirikan De Indische
Courant dengan harapan agar suara mereka didengar dan kepentingan mereka
juga diperhatikan.
Di Priangan, Bandung ada Het Algemeen Indisch Dagblad De Preanger Bode
(1896), yang pernah dipimpin oleh Dr W.M. Wormser, seorang ahli hukum,
Ketua Pengadilan Negeri di
Tulungagung (Jatim) yang kemudian terjun
dalam bidang jurnalistik pernah pula dipimpin oleh B. Sluimers yang
sejak 1953 pernah menjadi pembantu Kantor Berita Antara di Amsterdam.
Medan dan sekitarnya mempunyai korannya sendiri, Mula-mula terbit Deli
Courant yang dianggap sebagai pembawa suara kaum direksi. Kemudian
muncul Sumatera Post yang dianggap lebih demokratis dan lebih
mementingkan masyarakat Belanda sendiri.
Juga golongan Katholik, mempunyai koran De Koerier; sedangkan golongan
Indo (Belanda) Onze Courant. Kaum Protestan yang tergabung dalam
Christelijke Staatkundig Partij memiliki mingguan De Banier, Golongan
Belanda totok yang tergabung dalam Vaderlandse Dub organnya bernama
Nederlandsch Indie. Sedangkan Baars dan Sneevliet, pembawa faham komunis
ke Indonesia, tahun 1920-an mempunyai Het Vrije Woord.
Dengan bertambah banyaknya orang Belanda yang datang di Indonesia,
ditambah dengan kemajuan industri dan lain-lain, maka bertambah
berkembang pula keadaan pers mereka. Di antara kaum wartawan Belanda
terdapat nama-nama seperti Barrety yang mendirikan kantor berita Aneta
(Algemeen Nieuws en Telegraaf Agentschap); Karel Wybrands dari Het
Nieuws van den Dag, yang oleh komunitas Belanda disebut “jurnalis Hindia
yang besar dari awal abad ke-20.
Kemudian H.C. Zentgraaff yang pernah menjadi militer di Aceh, menulis
buku tentang Aceh. Pernah pula ikut perang di Bone, Sulawesi. Dia
berpindah-pindah tempat kerja. Pernah di Het Soerabajaasch Handelsblad,
De Locomotief dan Java Bode. Tiap artikel yang ditulisnya, selalu
ditandai dengan huruf “Z” di belakangnya.
Karel Wijbrands yang mengemudikan Het Nieuws van den Dag (Jakarta) yang
dikenal sebagai penulis tajuk yang tajam, berani sekaligus melecehkan
lawan-lawannya.
Mereka semua tidak melihat datangnya pasukan Jepang yang menggantikan kedudukan Belanda menjajah Indonesia.
Di zaman Jepang semua pers Belanda ditutup, dan pada lazimnya, kaum
wartawan Belanda masuk kamp interniran, kecuali satu dua orang yang
bersedia dipergunakan tenaganya oleh Jepang untuk keperluan propaganda.
Salah satu di antaranya ialah J.H. Ritman, Pemred Het Bataviasch
Nieuwsblad. Dia dipekerjakan di radio pemerintah (Jepang). Pada masa
revolusi dia menerbitkan Nieuwsgier, yang mula-mula berwujud stensilan
tetapi kemudian terbit tercetak.
Pers Belanda setelah 1945 memang bisa terbit kembali setelah
NICA-Belanda kembali berkuasa di sebagian wilayah Republik Indonesia.
Pers Belanda dipaksa menghentikan penerbitannya setelah adanya
konfrontasi mengenai Irian Barat (1958).
Sudah sejak masa penjajahan Belanda di Indonesia terdapat golongan Cina
totok, --yaitu mereka yang langsung datang dari negeri leluhur (Cina),
dan kaum peranakan Cina yang di badannya mengalir darah campuran, Cina
dan “pribumi’. Kaum peranakan ini dalam perkembangannya tidak mengerti
atau hanya sedikit mempergunakan bahasa Cina. Mereka mempergunakan
bahasa sendiri yang lazim dinamakan bahasa Melayu-Pasar dan
Melayu-Betawi.
Dalam abad ke-20, jumlah kaum Cina totok terus bertambah, namun
komunitas Cina-peranakan tetap merupakan mayoritas. Sebagian besar lebih
tertarik kepada pendidikan a la Barat. Salah seorang di antaranya ialah
Lie Kim Hok yang berhasil mengenyam pendidikan Belanda. Ia kemudian
terjun dalam bidang jurnalistik, dan mendirikan sebuah percetakan serta
menerbitkan suratkabar Pemberita Betawi. Tetapi itu bukan berarti bahwa
Pemberita Betawi merupakan koran Tionghoa-Melayu yang pertama. Sebab,
pada 1856 di Surabaya telah terbit pula Soerat Khabar Bahasa Melajoe,
yang diusahakan orang Belanda (1856).
Kemudian terbit berbagai suratkabar sejenis, seperti Selompret Melajoe
(Semarang), Bintang Timur (Surabaya), Matahari dan Bintang Barat
(Jakarta), yang semuanya diterbitkan oleh modal non-Cina. Hal yang
demikian juga terjadi di Sumatera, Kalimantan, yang semuanya bermaksud
menyediakan bacaan bagi orang-orang Cina kelahiran Indonesia. Sedangkan
bagi yang totok juga diterbitkan koran dengan huruf Cina, tetapi kurang
begitu dikenal.
Koran Tionghoa-Melayu yang dimodali orang-orang Cina, ialah Perniagaan
(Jakarta). Kala itu koran Bintang Betawi yang dikemudikan seorang Eropa
(Kieffer) sering menulis artikel yang isinya menghina-nistakan
orang-orang Cina. Sejumlah tokoh Cina bersepakat untuk mendirikan
suratkabar untuk mengantisipasi Bintang Betawi tersebut. Polemik terjadi
antara kedua suratkabar itu, dan akhirnya Bintang Betawi kehabisan
nafas. Uniknya ialah bahwa yang mengemudikan Perniagaan adalah seorang
Indonesia, bernama F.D.J. Pangemannan.
Kemudian terjadi pula perang-pena antara Perniagaan dan Sin Po yang
menjagoi Dr. Sun Yat Sen. Dalam perkembangannya, Perniagaan bertukar
nama menjadi Siang Po dengan Pemred Mr. Phoa Liong Gie, anggota
Volksraad, Dewan Rakyat bikinan Belanda.
Sebagian besar dari koran Tionghoa-Melayu bisa disebut hidup cukup baik,
karena di kalangan komunitas Cina-peranakan telah dirasakan perlunya
mendapat kabar berita dalam hubungan dengan usaha masing-masing.
Sebagian dari suratkabar itu mula-mula memang dikemudikan oleh tenaga
Belanda, namun sedikit demi sedikit tenaga asing itu digantikan oleh
tenaga Cina-peranakan sendiri. Adapun alasan menggunakan tenaga asing
(Belanda) itu mungkin disebabkan karena status tenaga-tenaga Eropa itu
dianggap lebih tinggi dan mereka juga dianggap akan lebih sukar
diperkarakan oleh penguasa katimbang redaktur-redaktur Cina. Perubahan
itu sangat kentara setelah terjadi Revolusi di Cina (1911). Mereka
mendambakan berita-berita baru dari negeri leluhur, ini sedikit banyak
membantu berkembangnya pers Melayu-Tionghoa di masa itu di antaranya Sin
Po dan Perniagaan.
Sebagian dari komunitas Cina-peranakan sudah sejak 1917 ada yang
meninggalkan faham “negeri leluhur’, dan bahkan lebih berorientasi
kepada kehidupan (penguasa) kolonial. Dan ini didukung oleh kenyataan
bertambahnya warga Cina-peranakan yang mendapat pendidikan Belanda.
Mereka ada yang kemudian mendapatkan persamaan hak dengan warganegara
Belanda; ikut serta dalam pemilihan Dewan Kota dan Dewan Rakyat
(Volksraad), dengan tujuan agar kedudukan politik serta ekonomi mereka
terangkat.
Perniagaan yang kemudian mengganti nama menjadi Siang Po
merupakan corong mereka.
Sementara itu, golongan yang merasa masih ada hubungan dengan negara
leluhur, justru menolak kewarganegaraan Belanda dan tidak ikut dalam
pemilihan badan legislatif. Sin Po dan Pewarta Soerabaja merupakan
corong golongan ini.
Ada pula golongan Cina-peranakan yang tidak masuk golongan pertama dan
golongan kedua, tetapi justru memilih untuk berjuang dengan kaum
nasionalis Indonesia. Mereka mendirikan Partai Tionghoa-Indonesia dan
meskipun tidak disebutkan secara terang-terangan, namun Sin Tit Po
(Surabaya) bisa diambil sebagai contoh sebagai koran Tionghoa-Melayu
yang membawakan surat PTI ini.
Sin Po yang semula mingguan (1911), setahun kemudian menjadi suratkabar,
dipimpin orang Belanda J.R. Razoux Kuhr, mantan kontrolir (penilik),
karena kala itu kaum peranakan masih belum begitu berani memegang
pimpinan redaksi. Tahun 1916 kedudukannya digantikan oleh Kwee Hing
Tjiat, yang kemudian digantikan pula oleh Tjoe Bou San dengan jabatan
sebagai Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi. Kwee Hing Tjiat pergi ke
Eropa dan terus membantu Sin Po. Karena tulisannya berjudul Bahaya Putih
dan bukunya Doea Kepala Batoe, dia dilarang kembali ke Hindia Belanda.
Sewaktu dia kembali dari Eropa dan kapal yang mengangkutnya sampai di
Priok dipulangkan ke Cina.
Sementara itu, Kwee Hing Tjiat atas tanggungan Oei Tiong Ham Concern
dibenarkan kembali ke Hindia, dan di Semarang dia menerbitkan koran
Matahari. Semula korannya akan dinamakan Merdeka, dan kantornya dicat
merah, tetapi dilarang pemerintah.
Kemudian terjadilah sengketa dalam kalangan pimpinan Sin Po. Hauw Tek
Kong salah seorang pimpinan Sin Po memisahkan diri dan mendirikan koran
baru Keng Po. Selanjutnya antara kedua koran terjadilah perang-tulisan
atau polemik yang tidak berkesudahan.
Sampai menjelang datangnya Jepang hanya ada 6 suratkabar Tionghoa-Melayu
yang terkemuka; itu pun semuanya ada di Jawa yaitu Sin Po, Keng Po,
Hong Po, ketiganya di Jakarta, Matahari (Semarang), Pewarta Surabaya dan
Sin Tit Po di Surabaya.
Pada lazimnya pers Tionghoa-Melayu loyal kepada pemerintah (Belanda).
Pada masa pendudukan Jepang sebagian kaum wartawan Tionghoa-Melayu di
antaranya Nio Yoe Lan (Sin Po) dan Injo Beng Goat (Keng Po) dimasukkan
ke dalam kamp tahanan, bersama sejumlah anggota Volksraad, kaum
intelektual dan juga sejumlah kaum usahawan keturunan Cina lainnya. Yang
berhasil lolos adalah Kwee Kek Beng (Sin Po) yang selama pendudukan
Jepang bersembunyi di suatu tempat yang justru letaknya tidak jauh dari
kantor Kenpei (polisi militer Jepang) di Bandung, sampai kalahnya
Jepang.
Sementara itu pihak Jepang sendiri sudah mempunyai koran yaitu Tjahaja
Selatan atas usaha Yanagi di Surabaya, dengan redakturnya orang
Indonesia, Raden Mas Bintartie. Pernah juga diterbitkan majalah Bende
dengan modal Jepang pula, tetapi tidak berusia lama. Yang agak berhasil
ialah suratkabar Sinar Selatan (Semarang) yang dipimpin Itami Hiraki,
mantan pegawai R. Ogawa, seorang pengusaha toko obat. Kedudukannya
kemudian digantikan Mashoed Hardjokoesoemo. Dan ini berjalan hingga
pasukan Jepang masuk ke Jawa (1942).
Yang lebih terkenal ialah S. Kubo yang berusaha mendirikan suratkabar
dengan modal Jepang; tetapi dalam perkembangannya justru gagal, dengan
mengikutkan dua orang wartawan Indonesia terkemuka di zamannya, yaitu
Saeroen dan Soediono Djojopranoto.
Semula S. Kubo bersama rekannya telah berhasil menerbitkan suratkabar
berbahasa Jepang, Java Nippo. Sewaktu timbul sengketa internal maka S.
Kubo mendirikan suratkabar sendiri bernama Nichiran Sogyo Shimbun, yang
di kemudian hari berganti nama menjadi Tohindo Nippo.
Pemerintah Hindia Belanda mencium bahwa Kubo berniat juga menerbitkan
suratkabar dalam bahasa Indonesia, di samping usahanya yang sudah
berhasil, menerbitkan suratkabar Cina dengan huruf Cina yang
mempergunakan tenaga redaktur Cina. Usaha Kubo hendak diperluas,
mengusahakan penerbitan Indonesia dengan tenaga Indonesia pula. Yang
dihubungi adalah Saeroen.
Antara keduanya kemudian tercapai persetujuan bahwa yang bergerak
Saeroen dan yang memodali pihak Jepang. Maka dibelilah percetakan
Tjahaja Pasundan milik Sasmita. Untuk menghilangkan kecurigaan pihak
pemerintah (Hindia Belanda), maka Sasmita pun dibenarkan tetap menjadi
pemimpin percetakan itu. Dicarilah tenaga redaksi yang dipercayakan
kepada Soediono Djojopranoto; sedangkan korannya diberi nama Warta
Suratkabar yang berkantor di Jalan Kramat Raya Jakarta.
Selang beberapa waktu kemudian S.Kubo mendapat kabar, bahwa proses
pembelian percetakan kurang beres, karena masih ada kekurangan
pembayaran, meskipun kepada Saeroen telah diberikan uang seluruhnya. S.
Kubo kemudian minta nasehat kepada atasannya yang ternyata adalah salah
satu cabang atau bagian dari Kementerian Luar Negeri Jepang. Kepada Kubo
dianjurkan agar melapor kepada Kejaksaan Tinggi Hindia Belanda. Dengan
adanya laporan Kubo itu maka usaha pemerintah mengusut liku-liku Jepang
dalam usaha berpropaganda melalui pers di Indonesia mendapat jalan.
Dalam perkembangannya, Saeroen ditahan, kemudian dijatuhi hukuman karena
terbukti kesalahannya.
Dengan adanya apa yang kemudian dikenal sebagai “kubo-affair” itu,
gemparlah seluruh pers di Indonesia. Pers Belanda paling santer
menyiarkan peristiwa itu dan berulang kali mengingatkan adanya bahaya
kuning yang akan datang dari Utara. Sementara itu pers Tionghoa-Melayu
sikapnya terpecah, sebab, kala itu ada yang menganut faham pro Chiang
Kai Shek, dan ada pula yang diam-diam yang memang pro Jepang. Sedangkan
pers Indonesia sebagian besar menyuguhkan berita “kubo affair” secara
apa adanya.
Usaha Jepang untuk mempengaruhi masyarakat Indonesia dengan media massa
tidak terhenti sampai di situ saja. Beberapa waktu sebelum Perang
Pasifik pecah, dari Tokyo dengan gencar dan teratur tiap petang diadakan
siaran radio. Yang menjadi penyiarnya adalah Jusuf Hassan; dan tiap
kali sebelum penyiaran, dikumandangkan lagu Indonesia Raya. Begitu pula
setelah perang Pasifik pecah, sering di daerah Surakarta dan Yogyakarta
disebarkan selebaran-selebaran, mengajak rakyat berontak terhadap
pemerintah Belanda, karena saatnya kini sudah tiba. Yaitu dengan
kedatangan pasukan Jepang, sesuai dengan bunyi Ramalan Jayabaya. Hanya
saja dalam surat selebaran itu tidak disebutkan, bahwa “orang cebol
kepalang berkulit kuning itu hanya seumur jagung diam di Nusantara untuk
kemudian pulang ke asalnya kembali”.
Setelah Jepang berhasil menaklukkan pasukan Belanda di Kalijati, 8
Pebruari 1942, langkah pertama yang dilakukan dalam bidang media massa
ialah membiarkan buat sementara penerbitan suratkabar-suratkabar, baik
yang berbahasa Belanda, Tionghoa-Melayu, Indonesia maupun yang berbahasa
daerah.
Tidak terlalu lama kemudian, pemerintah (militer) Jepang mengeluarkan
pengumuman yang intinya “terlarang menerbitkan barang cetakan yang
berhubung dengan pengumuman atau penerangan, baik yang berupa penerbitan
setiap hari, setiap minggu, setiap bulan maupun penerbitan dengan tidak
tertentu waktunya, kecuali oleh badan-badan yang sudah mendapat izin”.
Maka tutuplah semua penerbitan yang sudah ada. Koran yang dibenarkan
terbit paling awal di Jawa ialah Asia Raya dengan Pemimpin Umum R.
Soekardjo Wirjopranoto dan R.M. Winarno Hendronoto sebagai Pemimpin
Redaksinya. Baru kemudian menyusul koran-koran lainnya, seperti Suara
Asia (Surabaya) dengan R. Toekoel Soerohadinoto sebagai Pemimpin Umum
dan R. Abdulwahab Surowirono selaku Pemimpin Redaksi; Sinar Baru
(Semarang) di bawah asuhan Abdulgafar Ismail dan Dr. Buntaran
Martoatmodjo sebagai Pemimpin Umum. Kemudian keduanya digantikan oleh
Parada Harahap; Sinar Matahari (Yogya) dengan R. Rudjito (Pemimpin Umum)
dan R.M. Gondoyuwono (Pemimpin Redaksi); dan Tjahaja (Bandung) dengan
Otto Iskandardinata sebagai Pemimpin Umum dan A. Hamid sebagai Pemimpin
Redaksi. Sementara itu Antara masih dibenarkan beroperasi, tetapi
namanya diganti dengan Yashima, yang kemudian diganti lagi menjadi Domei
Bagian Indonesia.
Selain nama-nama tadi, sejumlah wartawan lainnya yang dibenarkan
mengelola suratkabar ialah Adinegoro (Kita Sumatora Shimbun di Medan),
Abdul Wahid (Atjeh Shimbun, Kotaraja), Madjid Usman (Padang Nippo,
Padang), Nungtjik (Palembang Shimbun, Palembang), A.A. Hamidhan (Borneo
Shimbun, Banjarmasin), Manai Sophian (Pewarta Serebesu, Makasar), O.H.
Pantauw (Menado Shimbun), R.R. Paath (Borneo Barat Shimbun, Pontianak),
Pattimaipau (Sinar Matahari, Ambon) dan Tjokorde Ngurah (Bali Shimbun,
Den Pasar).
Tidak semua koran terbit tiap hari tetapi ada yang hanya dua atau tiga
kali tiap minggu. Pada tiap redaksi selalu ada orang Jepangnya yang
menjadi Shidokan atau Pemimpin Umum.
Kaum wartawannya digiring ke dalam Jawa Shimbunsha Kai (Perhimpunan
Wartawan Jawa), kaum senimannya dihimpun dalam Keimin Bunka Shidoosho.
Diterbitkanlah triwulanan Keboedajaan Timoer dan juga berkala Panggung
Giat Gembira yang memuat kisah-kisah garapan Barisan Propaganda untuk
dipentaskan di atas panggung sandiwara.
Juga Badan Pembantu Perjurit mempunyai berkalanya sendiri yaitu
Pradjoerit, diasuh Madikin Wonohito dan Itjiki sebagai Pengawasnya. Ada
pula Djawa Baroe yang terbit dalam bahasa Indonesia diselingi bahasa
Jepang dengan huruf Honji dan Katakana.
Untuk kaum peranakan Cina di Jawa disediakan Kung Yung Pao, dengan Oei
Tiang Tjoei sebagai Pemimpin Umum dan Soema Tjoe Sing sebagai Pemimpin
Redaksi. Oei Tiang Tjoei (yang kemudian berganti nama menjadi Permana)
sebelum Jepang datang mengemudikan Hong Po, dan di jaman pendudukan
Jepang diangkat menjadi anggota Chuo Sangi- In (Dewan Pertimbangan
Pusat) oleh pemerintah.
Majalah Pandji Pustaka yang sejak penjajahan Belanda diterbitkan Balai
Pustaka tetap dibenarkan terbit; mula-mula mingguan baru kemudian dwi
mingguan. Ini disebabkan untuk menghemat kertas, mengingat di zaman
perang tidak ada impor kertas. Dalam perkembangannya, Pandji Pustaka
juga dilikuidasi dan sebagai gantinya terbit Indonesia Merdeka, yang
penerbitannya diusahakan oleh Jawa Hookoo Kai (Himpunan Kebaktian Rakyat
Jawa) sampai kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pengasuh Pandji
Pustaka berganti-ganti, dari Koesoema St. Pamuntjak, Armijn Pane, dan
akhirnya W.J.S. Poerwodarminto. Sedangkan Indonesia Merdeka yang terbit
hanya sekitar empat bulan saja, diasuh oleh Andjar Soebijanto.
Sementara itu untuk bacaan rakyat di desa-desa yang masyarakatnya
sebagian besar belum atau tidak menguasai bahasa Indonesia, diterbitkan
lembaran koran untuk tiap keresidenan. Bahasanya bahasa daerah (Sunda,
Jawa, Madura). Edisi Sunda diawasi Anwar Tjokroaminoto, sedangkan edisi
Jawa dan Madura diawasi Imam Soepardi.
Kedudukan Hoodoohan (bagian sensor) yang dibagi dalam dua bagian sangat
penting. Bagian Penyiaran yang mengurus penyiaran-penyiaran pemerintah
dipimpin T. Itjiki dan Syamsuddin Sutan Makmur. Bagian sensor, penilikan
atas isi suratkabar, majalah, buku dan lain sebagainya, dipimpin
Oejehara dan Mr. Elkana Tobing.
Selain itu juga diadakan Peraturan Pemerintah tentang pelayanan terhadap
wartawan terdiri dari 11 pasal. Pasal pertama menyebutkan, semua
pegawai suratkabar, termasuk pegawai Tata Usaha, kecuali pegawai
rendahan tidak terhitung, disebut wartawan. Juga disebutkan, bahwa
wartawan ada di bawah penilikan pegawai-pegawai pemerintah daerah
masing-masing.
Pasal 8 dan 9 menetapkan hukuman bagi para wartawan jika melanggar
maksud pemerintah. Kewajiban wartawan ialah semata-mata menyokong usaha
pemerintah, Jika ada wartawan yang merintangi pekerjaan pemerintah, maka
akan diambil sikap yang sekeras-kerasnya.
Terjadi peristiwa penangkapan atas sejumlah wartawan. Korban pertama
adalah Mr. Sumanang karena membiarkan korannya (Pemandangan) memuat
gambar Tenno Heika kaisar Jepang tertutup oleh bulatan hinomaru (bendera
Jepang). Juga Mohammad Tabrani ditangkap, karena di zaman Belanda
dianggap menghasut R.H. Oned Djoenaedi agar tidak menjual Percetakan
Pemandangan kepada pihak Jepang untuk menerbitkan suratkabamya. Juga
R.M. Winarno Hendronoto ditangkap karena memasang bendera merah-putih di
depan mobilnya. Sedangkan di Malang, Jawa Timur, wartawan Domei bernama
Koesen dibunuh Kenpei dengan tuduhan mendengarkan siaran radio musuh.
Ada yang berkisah, karena dia menyembunyikan orang yang kebetulan sedang
dicari Jepang.
Begitu pula di Kalimantan, sejumlah wartawan menjadi korban keganasan
penjajah Jepang. Wartawan Anomputra di Kalimantan Barat dihukum mati
dengan tuduhan mengadakan gerakan di bawah tanah untuk menumbangkan
pemerintah yang sah. Korban lainnya adalah Housman Babou, M. Hohman,
Anang Acil dan Amir Bondan, semuanya di Banjarmasin. Sedangkan Smits,
pemimpin Borneo Post dipenggal kepalanya dan jenazahnya dibuang ke
sungai Martapura, ketika Jepang untuk kali pertama menduduki
Banjarmasin.
Pada zaman ini pula, perusahaan-perusahaan suratkabar tergabung dalam
Jawa Shimbun Kisha (Penerbit Suratkabar Jawa). Secara bergantian kaum
wartawan dari berbagai kota dikumpulkan di Jakarta, untuk mendapat
latihan Semangat Nippon sekaligus baris berbaris. Lama latihan sebulan,
tetapi belum begitu lama pelatihan itu berlangsung, Indonesia merdeka.
Kala itu bukan saja semua apa yang akan dicetak (termasuk iklan)
terlebih dahulu harus diperiksa Hoodoohan (Badan Sensor), tetapi juga
oplaag-nya pun ditentukan oleh penguasa. Penduduk seluruh Indonesia di
masa itu diperkirakan 60 juta, 30 juta di antaranya diam di Jawa. Untuk
jumlah sekian itu, oplaag atau banyaknya penerbitan bersama dari semua
suratkabar suratkabar (di Jawa) tidak boleh melebihi 80.000. Sedangkan
majalah mingguan keresidenan masing-masing tidak boleh melebihi 5.000
lembar.
Di samping kekejaman dan pengekangan mengutarakan pendapat di zaman
Jepang kaum wartawan Indonesia mendapat kesempatan meraih sesuatu yang
positif. Satu di antaranya ialah pengenalan alat-alat modern, terutama
dalam bidang cetak mencetak. Di zaman Belanda, biasanya percetakan
tempat mencetak suratkabar Indonesia masih mempergunakan handset. Huruf
demi huruf harus disusun, dan kata demi kata untuk selanjutnya menjadi
kalimat. Satu atau dua alinea dari gabungan huruf itu lalu diikat,
diberi tinta di atasnya untuk menjadi proefdruk, contoh pencetakan untuk
dikoreksi. Bila pencetakan selesai, maka huruf-huruf tadi dikembalikan
ke tempat semula, untuk dipergunakan keesokan harinya bila hendak
mencetak lagi.
Di zaman Jepang, koran-koran bisa menggunakan mesin dan percetakan yang
semula dipakai oleh koran-koran Belanda, yang tentunya jauh lebih modern
dan lebih canggih.
Selain itu, di zaman Jepang koran-koran harus menggunakan bahasa
Indonesia umum, dan dilarang menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa atau
bahasa Indonesia yang tidak lazim. Perkembangan bahasa Indonesia di
zaman Jepang memang bagus dan menggembirakan.
Dalam hal ini kaum
wartawan Indonesia secara tidak langsung membantu memberi jasa. Sejumlah
kaum intelek Indonesia dan Cina yang di zaman Belanda suka membaca
koran Belanda dan suka berbahasa Belanda (juga di kalangan keluarga
sendiri) terpaksa membaca koran dan majalah bahasa Indonesia.
Juga di zaman Jepang, kaum wartawan Indonesia meskipun secara lahiriah
terhambat mengutarakan rasa pirasa hati serta pikiran, namun dalam
kenyataannya mereka masih selalu mampu menyebarluaskan semangat
kebangsaan, semangat untuk hidup merdeka dan mandiri, tidak dijajah oleh
bangsa asing.
Anwar
Tjokroaminoto yang lebih dikenal dengan nama samarannya Bang Bedjat
sebagai penjaga pojok Asia Raya pernah menurunkan tulisan lebih kurang
begini: “Awalan ‘se’ itu ada yang mengartikan ‘satu’. Jangan ditafsirkan
neka-neka, bila ada yang bilang Nippon-Indonesia sehidup semati”.
Konon, karena tulisan pojoknya itu Bang Bedjat kemudian tidak dibenarkan
mengemudikan Asia Raya lagi, dan kedudukannya digantikan orang lain.
Indonesia sudah merdeka, tetapi Jepang masih berkuasa. Pada awal
September 1945 terbitlah “koran gelap” yang banyak ditempelkan di
pohon-pohon di pinggir jalan atau di dinding-dinding gedung. Berita
Indonesia yang diusahakan oleh sejumlah mahasiswa dan pelajar sebagai
imbangan dari terbitnya Berita Gunseikanbu, koran Jepang yang khusus
dicetak berisi pengumuman-pengumuman pemerintah militer, setelah Jepang
kalah perang. Dalam perkembangannya, Berita Indonesia terbit terus,
meskipun sering berganti pimpinan dan pemilik. Pemrakarsa terbitnya
Berita Indonesia disebut-sebut Soeraedi Tahsin, Sidi Moharmnad Syaaf,
Roesli Amran, Soeardi Tasrif dan Anas Ma’roef.
Sementara itu komunitas Arab pada waktu yang sama juga memiliki persnya
sendiri, namun tidak begitu menonjol sehingga kurang mendapat perhatian
khalayak. Oplaag-nya pun tidak besar dan isinya terutama mengenai
soal-soal yang menyangkut keagamaan.
Pada masa-masa awal penerbitan pribumi banyak memuat hal-hal yang
mengenai kebudayaan, agama, hiburan dan sedikit perdagangan. Pada 1855
di Surakarta diterbitkan Bromartani, mingguan berbahasa Jawa, diembani
Carel Frederick Winter jurubahasa dikeraton Solo, dan juga
Poespitomantjawarna yang diasuh oleh Winter Jr. Kedua-duanya ditulis
dalam bahasa Jawa halus (kromo). Kemudian menyusul Djoeroemartani yang
diusahakan Groot Kolff & Co. yang beberapa tahun kemudian atas
perintah Sri Sunan namanya diubah menjadi Bromartani, nama seperti yang
pernah diterbitkan oleh juru bahasa keraton yang kala itu sudah wafat.
Begitulah kemudian di berbagai tempat bermunculan penerbitan pribumi
lainnya, sebagian diusahakan Zending (golongan Protestan), juga oleh
kalangan nonpri dan kemudian sejalan dengan perkembangan zaman, oleh
orang-orang Indonesia sendiri; terutama setelah timbulnya organisasi dan
perkumpulan-perkumpulan politik maupun sosial atau keagamaan.
Sebagai pelopor disebut-sebut Dr. Abdul Rivai dan Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Dr. Rivai selama belajar di Eropa, selalu mengirim tulisan
untuk Bintang Hindia dan kemudian di Bintang Timur. Dialah wartawan
Indonesia pertama yang menulis artikel-artikel dari luar negeri. Isi
tulisannya sering menghantam kebijaksanaan Pemerintah yang dianggap
banyak merugikan rakyat. Dan juga menganjurkan bangsanya agar suka
menuntut ilmu seperti orang Eropa.
Sedangkan Dr. Wahidin dikenal sebagai “pemberi nama” kepada organisasi
yang didirikan Soetomo dan kawan-kawan, Boedi Oetomo. Dia memimpin
Retnodoemilah sejak 1900 yang semula didirikan dan diasuh oleh F.L.
Winter, penerbitannya dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa.
Ada pula yang menyebutkan, bahwa sebagai Bapak Jurnalistik Indonesia
adalah Landjumin Datuk Temenggung, yang mengemudikan majalah Tjahaja
Hindia dan kemudian suratkabar Neratja. Menurut ukuran zamannya, Neratja
merupakan suratkabar yang cukup modern; karena, selain merupakan
suratkabar milik bangsa Indonesia asli, juga yang mulai memuat
gambar-gambar foto, dengan tata muka yang sudah meninggalkan tatacara
lama. Hal yang sangat langka pada masa itu.
Ada pula yang mengatakan, bahwa Datuk Sutan Maharadja pengasuh Utusan
Melayu (Padang), yang terbit 3 x seminggu, layak dianggap Bapak
Jurnalistik, setidak-tidaknya untuk wilayah Sumatera.Yang jelas, atas
bantuan Datuk Sutan Maharadjalah maka bisa diterbitkan Sunting Melaju,
terbit sekali seminggu yang membawa tenar nama pengasuhnya, Rohana
Kuddus (lihat lema Rohana Kuddus) dan Ratna Djuita sebagai redaktris.
Rohana Kuddus boleh disebut sebagai wartawati pertama Indonesia dan
namanya bisa dijajarkan dengan R.A. Kartini di Jawa atau Dewi Sartika
(di daerah Priangan).
Di samping artikel-artikel biasa Sunting Melaju yang mempunyai moto
“Suratkabar untuk kaum wanita Minangkabau” itu juga memuat sejarah,
biografi, syair-syair dan iklan.
Menarik juga bahwa sebagian besar dari penulis karangan untuk Sunting
Melayu terdiri dari kaum perempuan juga, yang diam di sekitar kota
Padang. Kaum Zending sebelum itu sudah mempunyai medianya. Biang Lala
yang diasuh oleh guru/pendeta Stefanus Sandiman terbit pada 1867,
disusul Bintang Djohar (1873) dan lebih kurang pada waktu yang bersamaan
terbitlah di Menado Tjahaja Siang yang kuat bertahan hingga 1927.
Pers Indonesia boleh dikatakan mulai berkembang setelah kaum elit
Indonesia merasa memerlukan alat komunikasi, terutama sebagai akibat
bertambahnya sekolah-sekolah baik yang dibuka pemerintah maupun oleh
bangsa Indonesia sendiri. Terutama lagi setelah berdirinya berbagai
perkumpulan dan organisasi, yang kemudian merasa masing-masing
memerlukan alat propaganda atau corongnya sendiri. Empat organisasi dan
partai politik Indonesia yang memegang peranan dalam perkembangan pers
Indonesia adalah Boedi Otomo, Sarekat Islam, de Indische Partij dan PKI.
Setelah dua tahun berdiri Boedi Oetomo berhasil mempunyai organ yakni
Darmo Kondho yang baru pada 1926 menjadi koran suratkabar. Mula-mula
dianggap bersuara lunak, kemudian dinilai agak keras. Tenaga yang
mengasuhnya berganti-ganti, satu di antaranya adalah Raden Mas Soedarjo
Tjokrosisworo, wartawan terkemuka di zamannya. Dalam perkembangannya,
Darmo Kondho terbit dalam dua edisi; edisi Jawa dan edisi Indonesia,
masing-masing bernama Pustaka Warti dan Pewarta Oemoem. Setelah Boedi
Oetomo fusi dengan Partai Bangsa Indonesia menjadi Partai Indonesia Raya
(Parindra), semua suratkabar yang diasuhnya diberi nama “Oemoem”. Di
Surabaya ada Soeara Oemoem, di Solo ada Pewarta Oemoem, dan di Bandung,
kemudian pindah ke Jakarta Berita Oemoem.
Menjelang datangnya Jepang Parinda merupakan satu-satunya partai di
Indonesia yang mempunyai media propaganda yang paling banyak, baik yang
menggunakan bahasa daerah maupun yang menggunakan bahasa Belanda.
Sarekat Islam, dengan organnya Oetoesan Hindia (Surabaya) langsung
diasuh oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto dinilai sangat radikal,
terutama tulisan-tulisan dari pembantu-pembantunya seperti Haji Agus
Salim, Abdoel Moeis, Soerjopranoto, Samsi dan lain-lain, dianggap sangat
berpengaruh kepada komunitasnya. Bahkan penerbitan di luar Jawa sering
pula mengambil oper tulisan dari Oetoesan Hindia. Sayang sekali, karena
sebagian pembaca Oetoesan Hindia kurang rajin membayar uang langganan,
maka akhirnya suratkabar tadi terpaksa menghentikan penerbitannya
(1923).
Oetoesan Hindia bukan satu-satunya organ Sarekat Islam. Di Semarang SI
mempunyai Sinar Djawa dan Pantjaran Warta di Jakarta, dan Saroetomo di
Surakarta. Di Saroetomo ini wartawan muda Mas Marco (Soemarko
Kartodikromo) sering rnenulis artikel-artikel yang menyebabkan dia
sering berurusan dengan pengadilan. Kemudian dia mendirikan majalah
Doenia Bergerak yang membawa suara PKI dan yang menyebabkan dia akhirnya
dibuang ke Boven Digul, Papua.
PKI bukan hanya memiliki Doenia Bergerak saja, tetapi juga Mowo (= arang
membara); Hobromarkoto (=Rata Bersinar) semuanya di Solo. Lalu Proletar
(Surabaya), Petir dan Torpedo (Padang), Goentoer (Medan), Halilintar
(Pontianak), dan di beberapa tempat lainnya lagi. Oplaag media mereka
tidak terlalu besar dan biasanya hanya berumur beberapa nomor saja.
De Indische Partij, juga mempunyai penerbitannya sendiri, namun yang
terkenal ialah Het Tijdschrift dan De Expres. Kedua nama itupun tidak
dapat dipisahkan dengan tiga nama yang pernah mengasuh dan mengisinya
yaitu Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi
Soerjaningrat. Dalam tahun 1913 ketiga insan itu dibuang ke tiga tempat
di Indonesia, tetapi ketiga-tiganya memilih untuk pergi ke Nederland. Di
sana pun mereka masih meneruskan menulis artikel untuk berbagai
penerbitan di Indonesia.
Di Nederland sendiri, pada masa penjajahan itu, para mahasiswa Indonesia
yang belajar di sana menghimpun diri dalam Perhimpunan Indonesia, yang
mempunyai organ Indonesia Merdeka terbit dalam dua bahasa, Indonesia dan
Belanda. Meskipun oplaag-nya sangat kecil, namun pengaruh Indonesia
Merdeka cukup besar, terutama bagi para pemimpin pergerakan serta kaum
terpelajar yang ada di Indonesia yang kala itu sebagian besar masih muda
usia.
Perkembangan pers Indonesia bisa dikatakan sejajar dengan perkembangan
partai politik dan organisasi komunitas yang memilikinya. Sekitar tahun
1930 Mohammad Tabrani merpakan sedikit di antara pemuda Indonesia yang
kala itu menuntut ilmu jurnalistik di luar negeri (Jerman), menulis
mengenai keadaan pers Indonesia. Dalam bukunya Ons Wapen (Senjata Kita)
dia mengulas, bahwa keadaan pers Indonesia masih mengecewakan.
Pendidikan kaum wartawannya sangat minim; cara pemberitaannya sangat
primitif dan sering tidak dapat dipercaya; kurang adanya rubrik seperti
pandangan luar negeri, kesenian, perdagangan, ilmu pengetahuan,
sedangkan tatausahanya sangat amburadul. Sedangkan para langganannya
membayar uang abonemen tidak pada waktunya, dan teknik percetakan pun
kurang memadai. Wartawan (redaktur)nya dibayar sangat minim. Namun
demikian, Tabrani berpendapat semua itu masih bisa diperbaiki.
Kala itu, selain Tabrani, ada dua pemuda Indonesia lainnya yang menuntut
ilmu jurnalistik di Jerman. Yaitu Djamaluddin Adinegoro dan Jahja
Jakub. Nama yang disebut akhir ini sesaat bergerak di bidang pers,
tetapi kemudian tidak pernah disebut-sebut lagi kegiatannya.
Kemudian ada juga Herawati Latip yang lalu menjadi Herawati Diah, yang
menuntut ilmu dalam bidang jurnalistik di Columbia University New York,
dan berhasil mencapai gelar Bachelor of Arts. Menjelang pecahnya Perang
Pasifik dia diminta pulang oleh orang tuanya, dan singgah di Manilla dan
diterima menjadi tamu Presiden Manuel Quezon.
Selebihnya, masih ada beberapa yang merupakan jebolan (drop out) NIAS,
Nederlands Indische Artsen School (Sekolah Kedokteran Hindia Belanda) di
Surabaya, seperti Abdulwahab Djojowirono, Ahmad Dermawan Lubis, Taher
Tjindarboemi. Juga ada Soemarto Djojodihardjo yang kemudian berhasil
mencapai gelar Sarjana Hukum, Winarno Hendronoto yang pernah mengenyam
pelajaran di Santi Niketan (Lahore), Mr R.M.
Sumanang Soeriowinoto dan
Mr Soedjatmiko yang digantikannya mengemudikan redaksi Pemandangan. Ada
yang belajar ilmu jurnalistik di dalam negeri, seperti Burhanuddin
Muhammad Diah yang menjadi siswa Dr. Douwes Dekker Setiabudhi di
Ksatriaan Instituut Bandung. Anwar Tjokroaminoto di Sekolah Guru
(Hollands Inlandse Kweekschool).
Tetapi, pada umumnya kaum wartawan Indonesia yang berani memimpin
majalah atau koran sebagian besar hanya berpendidikan sekolah rendah
saja. Mereka cakap membaca dan menulis, hasil pelajaran yang mereka
peroleh di sekolah rendah, kemudian ditambah dari belajar sendiri,
membaca di sana sini. Kemudian tergugahlah hati mereka untuk berani
tampil sebagai pemimpin redaksi atau redaktur majalah atau suratakabar.
Dengan bermodalkan sedikit pengetahuan dan pengalaman, jiwanya
terpanggil untuk memberi tuntunan serta bimbingan kepada bangsanya yang
masih menjadi bangsa jajahan, hidup nista dan sengsara. Bila mereka
menghendaki perbaikan nasib, maka belenggu penjajahan harus diputus.
Mereka harus menjadi bangsa yang merdeka.
Semangat kemerdekaan, semangat cinta tanah air dan bangsa, berjuang
untuk merdeka, inilah yang kemudian ditanamkan dan disebarluaskan kepada
sidang pembaca masing-masing.
Ujar R. Brotokesowo “Pada masa lampau untuk menjadi wartawan diperlukan
keberanian untuk menghadapi dua persoalan. Berani berhutang kepada
pelanggan dan percetakan, dan berani menghadapi delict.” Dalam
kenyataannya pada masa penjajahan tidak sedikit kaum wartawan yang
keluar masuk bui, disebabkan terkena ranjau pers yang sudah disediakan
pihak penjajah. Bahkan bukan masuk keluar bui saja, tetapi juga berani
menghadapi risiko dibuang ke Tanah Merah Boven Digul. Jumlah mereka yang
pasti, belum pernah dilakukan penelitian secara khusus. Namun, dapat
disebutkan nama-nama, misalnya, Raden Mas Gondojoewono, Soediono
Djojopranoto, Tjempono, Oesman Gelar Sutan Keadilan, Ali Arham,
Soekindar, Soemantri, Soenardi, Samsi, Martoyo, Boedi Soetjitro, Sismadi
Sastrosiwoyo, A. Dasoeki, K.H. Misbach, Sabilal Rasjad, Firdaus Harus
al-Rasjid, Noeroes Ginting Soeka, A.C. Salim, H. Datoek Batoeah, U.
Pardede.
Dari nama-nama yang tercantum dapat diketahui pula bahwa mereka bukan
berasal dari etnis Jawa saja, tetapi dari berbagai suku di Indonesia.
Mereka dibuang ke Digul dengan predikat jurnalis atau wartawan.
Dalam kenyataannya, pergerakan kemerdekaan Indonesia mempergunakan tiga
alat dalam perjuangannya, yakni pendidikan, olah-raga dan pers.
Adanya perguruan Muhammadiah, Taman Siswa, perguruan yang diusahakan
Paguyuban Pasundan, INS (lndonesische Nationale School) di Kayutanam,
Sumatra Tawalib Padangpanjang, Pondok Pesantren Modern Ponorogo dan
ribuan pesantren yang terserak di seluruh kepulauan, selain mengajarkan
ilmu agama, juga mendidik para santrinya untuk selalu berdikari,
sekaligus mencintai tanah airnya.
Adalah suatu kenyataan pula, bahwa tiap pemimpin gerakan kebangsaan dan
keagamaan di Indonesia pada masa lampau, pernah mengemudikan berkala
atau suratkabar dari organisasi yang dipimpinnya. Haji Oemar Said
Tjokroaminoto (Oetoesan Hindia), Ir. Soekarno (Fikiran Rakyat), Bung
Hatta, Bung Syahrir (Daulat Rakyat), Douwes Dekker alias Setiabudhi (De
Expres, Het Tijdschrift), Dr. Sam Ratulangie (Nationale Commentaren),
Ki Hadjar Dewantara (Penggugah), Rangkayo Rasuna Said (Menara Puteri),
Dr. Tjipto Mangunkusurno (Het Tijdschrift), Dr. Soetomo (Soeara Oemoem)
dan masih banyak lainnya lagi.
Pada lazimnya, pada waktu itu soal materi tidak begitu dihiraukan.
Mereka terjun dalam bidang kewartawanan dan jurnalistik memang dengan
penuh dedikasi serta rasa pengabdian kepada perjuangan negara dan
bangsa. Hanya satu dua orang pemimpin redaksi suratkabar Indonesia yang
bergajih lebih dari seratus gulden. Djamaludin Adinegoro (Pewarta Deli)
selain mendapat mobil, juga menerima gajih 400 gulden. Mr. Sumanang
(Pemandangan) tanpa mobil, menerima 400 gulden. Mr. Soenarjo yang
memimpin Sedio Tomo (Yogya) dan yang kemudian pernah menjadi Menteri
Luar Negeri Republik Indonesia, menerima 75 gulden. Sedangkan para
redakturnya rata-rata menerima 15-25 gulden, itupun kadang-kadang
dibayarkan 2 x sebulan. Dan para pembantu (medewerker) koresponden di
daerah honornya dibayar sesuai dengan pendek panjangnya berita yang
dimuat. Dihitung sentimeteran.
Keadaan demikian baru berubah sedikit, pada waktu pendudukan Jepang.
Karena statusnya pegawai, maka kaum wartawan dapat menerima gajih
teratur tiap bulan, dengan jumlah relatif baik ketimbang pada masa
sebelumnya.
Perihal kecilnya pendapatan kaum wartawan Indonesia, dapat dimaklumi
sebab musababnya. Bukan saja oplaag koran-koran Indonesia kecil, tetapi
sebagian besar dari mereka tidak ditopang oleh adanya iklan. Hal yang
demikian berlaku baik bagi pers yang berbahasa Indonesia maupun yang
berbahasa daerah.
Di antara tahun-tahun 1920-40an di berbagai daerah terbit pula pers
bahasa daerah. Gubernemen sendiri di samping menerbitkan tengah mingguan
Pandji Poestaka yang berbahasa Indonesia, juga menerbitkan tengah
mingguan Kadjawen dan Parahiangan yang masing-masing berbahasa Jawa dan
Sunda. Di Surabaya pernah terbit mingguan bahasa Jawa Soeloeh Oemoem,
pimpinan Raden Panji Sosrokardono, yang diusahakan pihak Persatuan
Bangsa Indonesia dan yang kemudian terbit dalam bahasa Indonesia dengan
nama Soeara Oemoem. Lalu ada suratkabar Expres pimpinan kakak beradik
Ajat dan Asal. Di Yogya ada Sedio Tomo yang pernah dipimpin Mr.
Soenarjo. Kaum Katolik memiliki Swara Tama, mingguan bahasa Jawa yang
cukup besar.
Penerbitan yang menggunakan bahasa Jawa yang mampu hidup sampai
datangnya Jepang ialah mingguan Panyebar Semangat, pimpinan Imam
Soepardi. Koran ini bukan saja tahan sampai datangnya Jepang, tetapi
dengan oplaag 13.000 eks/minggu juga merupakan penerbitan yang paling
besar oplaagnya di Indonesia pada masa itu.
Juga ada Pembela Rakyat yang terbit dalam dwi bahasa, Indonesia dan
Jawa, dipimpin Soekandar Tjokrosoedarmo. Pada suatu ketika
Tjokrosoedarmo terkena delict dan sewaktu dibawa ke pengadilan,
tangannya diborgol. Kasus ini menimbulkan protes dari pihak Perdi
(Persatuan Djoernalis Indonesia), karena sebelum itu pemerintah telah
berjanji, tidak akan melakukan pemborgolan lagi terhadap kaum wartawan.
Saroehoem Hasiboean wartawan di Cirebon beberapa waktu sebelumnya juga
diborgol tangannya sewaktu dibawa ke pengadilan, dan kaum wartawan
Indonesia mengajukan protes.
Kalangan Sunda juga mempunyai penerbitannya sendiri. Sipatahoenan dan
Sinar Pasundan, masing-masing dipimpin Bakrie Soeraatmadja dan Imbih
Djajakoesoemah. Keduanya terbit di Bandung.
Di Tapanuli pernah pula diterbitkan majalah berbahasa Batak, Palito
(1929) pimpinan Gustaaf Adolf, disusul oleh Pemberita Batak dan Bintang
Batak. Sedangkan di Tarutung terbit Pardomuan Batak yang diasuh Fridolin
Pangabean.
Meskipun berkala dan koran-koran tadi terbit dalam bahasa daerah, tetapi
pada dapat disebutkan bahwa pada umumnya isinya sesuai dengan aliran
zamannya yakni menyebarluaskan semangat nasionalisme, semangat cinta
tanah air dan bangsa Indoensia. Dalam bidang organisasi kewartawanan,
juga dipelopori pers Belanda, dengan didirikannya Journalisten
Vereeniging di Jakarta pada 1907. Ketuanya W. Wiggers (Taman Sarie),
penulis F.D.J. Pangemanan (Perniagaan), pembantu Gouw Peng Liang (Sinar
Betawie). Sepak terjang organisasi gabungan ini kurang dikenal dan
tidak hidup begitu lama. Yang lebih terkenal ialah de Nederlandse
Journalistenkring yang rupa-rupanya merupakan cabang dari organisasi
wartawan di Nederlan, sebab di belakang nama organisasi tadi ditambahkan
kata-kata in Nederlands Indie (di Hindia Nederland). Organisasi
kewartawanan yang anggotanya melulu wartawan Belanda ini mempunyai
organ, De Journalist sampai datangnya Jepang. Kaum wartawan
Tionghoa-Melayu sementara itu mempunyai organisasinya, Tjoe Piet Hwee
diketuai Pek Pak Eng (1920). Organisasi ini tidak pernah berkembang dan
mati dengan sendirinya.
Di Solo pada 1914 berdiri Inlandse Journalisten Bond diketuai Mas Marco
(Sarotomo), sedangkan anggota-anggotanya ada yang pedagang, guru atau
mantri kepatihan. Pada masa itu barangsiapa yang pernah menulis di
suratkabar atau majalah, boleh menyebut dirinya jurnalia.
Dr. Tjipto Mangunkusumo pada tahun 1919 mendirikan Perkoempoelan Indiers
Journalisten Bond dengan organnya Panggugah (Pembangun). Sebagai
Sekretaris organisasi ditunjuk Heerlan Soetadi, dan keuangan H.M.
Misbach.
Di Surabaya pada 1925 Raden Mas Bintarti mendirikan Sarekat Journalist
Asia, yang dari namanya dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi
anggotanya adalah wartawan Indonesia dan non-pri. Hal yang sama terjadi
pula di Yogya, hanya namanya saja yang beda yaitu Perserikatan
Journalist Asia dengan Mr. Soejoedi sebagai ketuanya. Sebagaimana halnya
organisasi wartawan lainnya yang bersifat lokal, usia kedua organisasi
tadi tidak terlalu panjang.
Yang mempunyai cabang dan yang agak panjang usianya ialah Perkoempoelan
Kaoem Journalist atau PKJ yang didirikan di Semarang (1931). Ketuanya
Saeroen (Siang Po); penulis Bakrie Soeraatmadja; (Sipatahoenan,
Bandung), Koesoemodirdjo (Darmo Kondho, Solo), Soejitno (Sin Tit Po,
Surabaya) dan Joenoes (Bahagia, Semarang). Sebagai wakil ketua terpilih
Wignjadisastra (kantor berita HIPA, Jakarta) dan Parada Harahap (Bintang
Timur, Jakarta).
Bertepatan dengan diadakannya Kongres Indonesia Raya ke-11 di Solo
(1933), berhimpun pulalah sejumlah wartawan Indonesia dan bersepakat
mendirikan Perdi (Persatuan Djurnalis Indonesia). Ketuanya Soetopo
Wonobojo (Koemandang Rakjat, Solo), R.M. Soedarjo Tjokrosisworo (Midden
Java Redacteur Soeara Oemoem). Penulis, R. Sjamsu Hadiwijoto (Adil,
Solo), Sjamsuddin Sutan Makmur (Daya Upaya, Semarang), Bakri
Soeraatmadja (Sipatahoenan, Bandung), Inu Perbatasari Mertokoesoemo
(Oetoesan Indonesia, Yogya) dan Joenoes Dirk Syaranamoeal (Soeara
Oemoem, Surabaya). Pada waktu berdirinya, Perdi mempunyai cabang-cabang
di Solo, Yogya, Semarang, Surabaya, Jakarta dan Bandung.
Dalam sejarahnya, Perdi terus berdampingan dengan pergerakan rakyat yang
waktu itu tergabung dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia), yaitu
suatu federasi dari partai-partai politik nasional yang ada pada masa
itu, dan dengan MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia), federasi sejumlah
ormas dan partai Islam.
Sejumlah kaum wartawan muslim di sekitar 1935-an di Medan, mendirikan
Warmusi (Wartawan Muslimin Indonesia), dipelopori oleh Mohammad Yunan
Nasution (Pedoman Masyarakat), Zainal Abidin Ahmad (Pandji Islam), dan
di Jawa Soerono Wirohardjono (Adil, Solo), Wali al-Fatah dan Ghafar
Ismail.
Sebagaimana halnya ormas dan perkumpulan lainnya, maka pada zaman Jepang
baik Perdi maupun Warmusi menghentikan kegiatannya atau membubarkan
diri.
Bahwasanya pers Indonesia sudah menyadari keperluan adanya sebuah kantor
berita, terbukti telah dirintis oleh beberapa wartawan untuk mendirikan
persbureau. Terlebih pula, setelah ternyata bahwa Aneta sangat tidak
pernah memperhatikan apa yang terjadi di komunitas Indonesia.
Peristiwa-peristiwa penting, seperti Kongres Bahasa Indonesia, Kongres
Perdi, Kongres PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda) dan lain-lainnya
lagi, tidak pernah disiarkan Aneta.
Parada Harahap pernah berusaha mendirikan kantor berita Alpena (Algemeen
Pers en Nieuws Agentschap) dengan cabangnya di Purwokerto. Kemudian A.
Wignyadisastra, koresponden berbagai suratkabar, sekaligus menjadi
pegawai Balai Pustaka, juga pernah mencoba mendirikan HIPA (Het
Indonesische Pers Agentschap) di Jakarta. Di Medan oleh Muhammad Yunan
Nasution juga pernah didirikan Persbureau Himalaya. Semuanya tidak tahan
lama.
Bratanata di Cirebon pernah pula mengeluarkan buletin stensilan bernama
Nicork (National Indonesische Correspondentie Kantoor), yang semula
dimaksudkan sebagai persbureau. Tetapi dalam perkembangannya justru
menjadi suratkabar dan bernama Nicork-Expres, kuat bertahan sampai
Jepang datang.
Sekitar 1930-an, Mohammad Arif Lubis di Medan membangun Inpera
(Indonesische Pers Agentschap). Di Ambon John Tupamahu mendirikan
Maloekoe dengan menerbitkan buletin kantor berita.
Di Kalimantan pada tahun 1926 seorang putra Dayak, Housman Babou dan
L.H. Rumdjain putra Minahasa mendirikan Borpena (Borneo Pers en Nieuws
Agentschap); dalam tahun 1928 namanya diubah menjadi Kalpena (Kalimantan
Pers en Nieuws Agentschap). Kantor berita ini bertahan sampai 1934
karena kalah bersaing dengan Aneta.
Sementara itu, sewaktu Soewardi Soerjaningrat dibuang ke Nederland, dia
juga mencoba mendirikan kantor berita di sana, Indonesische Persbureau
yang tujuan utamanya untuk lebih memperkenalkan nama Indonesia, dengan
sendirinya kantor berita tadi menghentikan kegiatannya, setelah Soewardi
kembali pulang ke Indonesia.
Yang langgeng hidupnya ialah Kantor Berita Antara, yang didirikan pada
tahun 1937 oleh Mr. Sumanang, Albert Sipahutar, Adam Malik dan Pandoe
Kartawiguna. Antara dalam sejarah ternyata timbul tenggelam dengan
bangsa yang melahirkan, membesarkan dan yang memilikinya.
Antara pada masa penjajahan merupakan eksponen penting bagi perjuangan
kemerdekaan. Sebagaimana halnya pers dan kaum wartawan Indonesia masa
itu umumnya, terlebih dahulu nasionalis, baru kemudian wartawan. Pers
Indonesia di masa penjajahan adalah pers perjuangan. (Soebagijo I.N
Sumber: Abdullah Latief 1980 Pers di Indonesia di zaman pendudukan
Jepang, “Karya Anda” Surabaya; Abdurrachman Surjomihardjo, Beberapa Segi
Perkembangan Pers di Indonesia ldayu, Jakarta;
Abdurrachman
Surjomihardjo 1980: Beberapa Segi Perkembamgan Sejarah Pers di
Indonesia. Deppen RI-Leknas LIPI; Departemen Penerangan : suratkabar
Indonesia pada Tiga Zaman, tanpa tahun; Evert - Jan Hoogerwerf 1990 :
Persgeschiedenis van Indonesia tot 1942. KITLV Uitgeverij, Leiden; Kwee
Kek Beng 1948; Doea Poeloe Lima Tahon sebagai Wartawan. Kuo-Batavia; Leo
Suryadinata 1981 Eminent Indonesian Chinese. Gunung Agung Singapore;
Moerthiko 1978. Pelita Hidup. Sekretariat Empeh Wong Kam Fu, Semarang;
Nio Joe Lan 1946. Dalem Tawanan Djepang. Lotus Co, Djakarta Kota; S.P.S.
Djakarta. 1958 Sekilas Perdjuangan Suratkabar; Soebagijo IN. 1977:
Sejarah Pers Indonesia, Dewan Pers; Soendoro : Djurnalistiek Seperempat
Abad dalam Ragi Buana, Agustus 1970; Sumanang Mr. 1953. Buku Pelajaran
pers dan Journalistik, Balai Pustaka Jakarta; Tio le Soei 1955 Lie Kim
Hok, Good Luck Bandung; Tamar Djaja 1980. ROHANA KUDUS Srikandi
Indonesia. Mutiara, Jakarta; L. Taufik Drs. 1977. Sejarah dan
Perkembangan Pers di Indonesia. PT. Triyinco; Wormser. Mr. C.W.
Journalistiek op Java. Uitgeverij W. van Hoeve, Deventer, tanpa tahun;
Wormser. Mr. C.W. Drie en Dertig Jaren op Java. Amsterdam;
Surat-suratkabar Kompas, Sinar Harapan, Soerabaya Post, Kedaulatan
Rakjat, Suara Merdeka)